Wanita menyisir rambut panjangnya, dihadapnya seorang lelaki memandangi helai demi helai rambut menjuntai sepanjang punggung, mengesamping tersampir dipundak sampai dada…
“Apa gerangan yang sedang kau perhatikan lelakiku?”tanya wanita
“ah…ah..tidak-tidak bukan apa-apa, kapan akan kau rapikan rambut panjang ini??…berkilau seperti dulu, berkeramas dengan madu, jeruk nipis, lidah buaya…atau putih telur ayam kampung, kau ratus..harum mewangi seperti dulu lagi??”…tanya Lelaki..
seperti menyampaikan sebuah pesan wanita tak indah lagi dengan rambutnya–
wanita terdiam dan kembali merapikan rambutnya yang panjang menjuntai kusut, merah, ujungnya pecah, kering…seperti rambut Buto, rambut Kuntilanak…
Lelaki tak bergeser sedikitpun dari tempat duduknya…dan kini memperhatikan muka wanita
“Apa gerangan yang kau perhatikan lelakiku??”tanya wanita
“ah…ah…tidak-tidak bukan apa-apa, …kapan muka ini kau rawat dengan bedak beras, air mawar, air sirih menguapi mukamu…atau kau olesi parutan mentimun pipimu???”…tanya lelaki…dan kenapa kamu kurus sekali”…
dan wanita menerima pesan, wanita tak cantik seperti dulu lagi bagai bidadari Khyangan, bagai Dewi Shinta, Dewi Kunthi, Trijoto —aaahhhh…wanita seperti Anjani sekarang (wanita yang cantik berubah mukanya menjadi Kera karena kemalangan hidupnya, mencari Cupumanik yang hilang di telaga Madirda).
“Betapa malang hidupku…”…kata wanita setengah meratap dan mulai meleleh air matanya
“kenapa baru kau tanyakan sekarang…setelah aku seperti kera, buto, kuntilanak???”
Bathin wanita berkata-kata:
“Kenapa tak kau tanyakan…saat aku sibuk melayanimu, dari mataku terbuka bahkan sang surya belum membagi sinar dan kehangatannya aku wanitamu sudah sibuk apa yang akan buat bersantap sarapan pagi nanti—bagaimana aku sempat menyisir rambutku—kunyalakan tungku berkalang abu dan asap—demi lelakiku—aku wanitamu takut lelakiku lapar dijalan saat bekerja,…itu–itu saja—
———————–
saat kau lelakiku pergi bekerja anak-anakmu menggelendot, menangis, merengek, menanti belaian tangan wanitamu ini, dan tangan mengantar suap sesendok demi sesendok—setelah lelap tak lelo-lelo ledung, kuayun diselendang samping mbale—aku angkat setumpuk kain bau apeg keringatmu prengus dan aku mulai mencuci–njemur pakeanmu satu-persatu—mana sempat aku rapikan muka ini’
———————–
saat matahari diatas kepala aku mulai sibuk masak, makan-makanan untuk kita semua..dan anakmu mulai merengek—sedang badanku sudah mulai bau kecing mandipun hanya jadi syarat tak sempat berlulur teriakan anakmu mengatakan ‘cepat si mbook, akuuu lapar’ —dan makanan itu semakin jauh dariku kumakan sisa suapan anakmu yg tak habis dimakan(karena aku menghargai penghasilanmu untuk membeli beras ini maka tak gampang aku buang-buang makanan) porsinyapun tak seberapa—pantas jika semakin kurus kering.
———————-
saat sang surya beranjak pergi meninggalkan langit …lelakiku datang, kusambut dilatar wanitamu ini sedang angon anak dolanan, bergegas pulang secangkir wedang panas nyanding telo anget kemepul hidangan sebelum makan besar—mana sempat aku pasang gincu menunggumu depan pintu tersenyum manis menyapamu…
———————-
saat sang surya benar-benar hilang, di bale-bale bambu setelah makan besar selesai, sambil melipat pakaiana kering–Lelakiku ngoceh tentang pengalamannya seharian diluar sana—bahagia walau hanya mendengar—sampai senggur ‘ngorok’..mengagetkan wanitamu ini, yang tiba bergiliran cerita tentang tingkah polah anakmu seharian—tapi lelakiku sudah tergolek seperti jabang bayi kekenyangan—aaahhh…sudahlah desah wanitamu ini…kamu capek sekali lelakiku—dan wanitamu masih berkalang dengan ‘korahan’ cuci piring kotor…
———————–
Kini wanitamu ini mulai berhitung—apa-apa yang telah dilakukan ‘ngladeni’–melayani–yang tadinya aku lakukan dengan tulus—wanitamu ini mulai berhitung, tak pantas kulakukan…lelakiku karena aku tak seperti dulu lagi…dewi pujaan hati yang turun dari kahyangan…lelakiku mulai menuntun aku cantik…
———————-
Pikiran wanita terlempar masa lampau saat masih gadis…banyak hal tentang merawat diri yang banyak terlewat saat ini…”duh si mbok aku kepingin seperti dulu lagi”…besok akan aku sempatkan merawat diriku, akan aku minta dia lelakiku tinggal dirumah sehari…aku harus berani berkata pada lelakiku:
———————-
dan benar pagi datang… setelah diminta tinggal dirumah lelaki mau membantu dirumah…
“lelakiku kamu ingin melihat aku cantik?…sediakanlah waktu untuk aku mengurus badanku beberapa saat, aku mau lelakiku berbagi penatku sehari saja supaya tahu kenapa aku tak sempat ‘brai’…dandan tiap hari—”
Dan merekapun berbagi tugas….
Lelaki perhatikan wanitanya–ijlak-ijlik–wira-wiri–’laden’, gerakan mata lelaki memandangi setiap klebatan gerak wanita, dan sesekali membantu ‘ngangsu’ menimba air, mengangkat berat…nyambi njaga anak.
Bathin lelaki
‘Oooooh wanitaku–betapa egoisnya aku—kau adalah wanita tercantik yang kumiliki, tak sedikitpun kamu pernah ‘ngersulo’, mengeluh–selama ngladeni aku dan anakmu—aku saja yang bodoh tidak menjaga pemberian Gusti Allah, akuuu—akuuu dulu yang pernah berjanji setia sehidup-semati, seia sekata, dalam suka maupun duka, tak kan kubiarkan kau mati sendiri, sekata sendiri dan berduka atas pelayananmu terhadap aku dan anakku-anak kita’…
—Wanitaku ditiap-tiap hari akan datang aku akan menyediakan waktu-waktu seperti ini lagi, terima kasih atas pelayananmu—
—Dan Lelakiku akupun bahagia jika kau cepat menyadarinya—
http://fiksi.kompasiana.com/group/prosa/2010/08/31/wanita-tercantik-itu/
0 komentar:
Posting Komentar